BERITASERU.ID – Penguatan desa perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya urbanisasi. Pasalnya, ketika terjadi urbanisasi sebagaimana yang terjadi di negara Jepang dan Korea Selatan, maka akan menimbulkan permasalahan lain yang lebih berat seperti demografi penduduk yang tak seimbang.
Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka juga menempatkan posisi penting desa dalam Asta Cita. Dalam point 6 disebutkan pentingnya membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
Adapun penguatan desa sejalan dengan visi-misi awal yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo. Kepala Negara menegaskan komitmennya terkait membangun Indonesia dari pinggiran, salah satunya dengan memperkuat desa. Prinsipnya, desa dan kelurahan memiliki peran yang sangat penting karena berada di garis depan pembangunan dan berhadapan langsung dengan masyarakat.
Pemerintah juga telah membuat berbagai macam program untuk membangun desa. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa. Melalui regulasi ini, desa bukan lagi sekadar kumpulan komunitas biasa, tetapi menjadi bagian dari sistem pemerintahan.
“Kedua, dibuat kelembagaan desa dan daerah tertinggal. Dan yang ketiga, yang paling penting sekali, adalah adanya anggaran desa,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian.
Mendagri pun mendorong penguatan desa sebagai sentra ekonomi baru yang betul-betul hidup dan tidak mengandalkan kerja kota saja. Desa diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja, berkontribusi dalam pembangunan, dan mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Untuk mewujudkannya, kepala desa perlu memiliki kemampuan, termasuk wirausaha (entrepreneurship) yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan asli desa (PADes). “Kunci, rekan-rekan kepala desa harus memiliki skill, bukan hanya pemimpin yang kuat, strong leader. Strong leader itu dia punya power/kekuasaan, punya pengikut rakyat, tapi juga punya konsep untuk berpikir (desa) mau di bawa ke mana,” katanya.
Melihat tantangan itu, Kemendagri bekerja sama dengan Kementerian Desa-PDTT, Kementerian Koordinator Bidang PMK, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Keuangan, merancang Program Penguatan Pemerintahan dan Pembangunan Desa (P3PD).
P3PD dilaksanakan sejak 2020 dan berakhir tahun ini. Program tersebut bertujuan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan desa sehingga dapat meningkatkan kualitas belanja desa.
Pelatihan P3PD meliputi pelatihan aparatur desa (dasar), pelatihan penetapan, penegasan dan pengesahan batas desa, pelatihan/bimtek penerapan aplikasi pengelolaan keuangan dan aset desa, pelatihan penguatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pelatihan penguatan PKK, pelatihan penguatan kerja sama desa, pelatihan penguatan lembaga kemasyarakatan desa/lembaga adat desa, dan pelatihan penguatan posyandu.
Selain kepala Desa, menurut Plh Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama Ditjen Bina Adwil Kemendagri, Edi Cahyono, P3PD juga melatih para camat. Pelatihan ini menargetkan 1.007 kecamatan dari 60 kabupaten di 10 provinsi. Pelatihan ini akan menjadi guidance para camat sebagai pembina desa dalam mengarahkan belanja desa berkualitas.
Pada saat pretest, Edi menjelaskan, banyak camat yang terlihat belum memahami secara menyeluruh terkait bagaimana fungsi pembinaannya kepada desa dalam mencapai belanja desa berkualitas. “Namun, setelah posttest, dapat dilihat, before-after-nya bahwa kecamatan sangat strategis untuk hal tersebut. Melalui fungsi sinkroninasi koordinasi lintas sektor di kecamatan dalam wadah ‘Rumah Bersama',” ujarnya.
Memangkas waktu
P3PD dinilai berhasil memangkas waktu upaya peningkatan kapasitas aparatur desa hingga puluhan tahun. Contohnya, pelaksanaan peningkatan kapasitas aparatur desa di Jawa Timur (Jatim), seperti keterangan yang didapat dari Kadis Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), APBD Jatim hanya mampu untuk melatih 500 aparatur desa setiap tahunnya.
“Jatim melalui P3PD berhasil melatih 15.000 aparatur desa. Artinya 15.000 : 500, yaitu 30. Berarti P3PD bisa memangkas waktu 30 tahun untuk melatih aparatur desa di Jatim,” ujar Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Pemdes) Kemendagri La Ode Ahmad P Bolombo di Provinsi Aceh, Banda Aceh, Rabu (16/10).
Pada kesempatan itu, La Ode memuji antusiasme peserta pelatihan aparatur desa (gampong) dari Aceh. Provinsi paling ujung Pulau Sumatra ini paling banyak mengirimkan pesertanya untuk dilatih. Bahkan, jumlah pesertanya melebihi peserta dari provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Ia juga berharap mereka terus belajar mengasah pengetahuan melalui sistem pembelajaran online (learning management system/LMS).
Bila pemerintahan desa berhasil membangun dirinya seperti pemerintahan daerah, La Ode yakin ke depannya setiap desa akan mampu menghadapi pembangunan bersistem digital. “Kalau desa itu menyala (berhasil) maka daerah itu akan menyala,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh Aznal Zahri, menyebut pelatihan ini merupakan solusi bagi aparatur gampong untuk memperbaiki kinerja, motivasi, dan dedikasi. “Pesertanya ada yang kepala 6, umur 65 tahun, ada yang kepala 2. Tapi yang kepala 6 ini semangatnya luar biasa. Empat hari penuh ikuti setiap pelatihan sampai selesai,” ucap Aznal.
Kembangkan kawasan
Sabtu Kene, Kepala Desa Oba di Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, mengaku makin percaya diri mengembangkan kawasan wisata pantai yang berada di sekitar wilayah mereka.
Kawasan tersebut bernama Pantai Muara Oba. Pantai ini memiliki pemandangan ke arah Pulau Tidore dan Ternate yang pernah dijadikan sebagai salah satu gambar di mata uang Indonesia bernilai Rp1.000. “Setelah ikut pelatihan P3PD makin kepikiran untuk kembangkan wisata pantai,” ucap Sabtu Kene, beberapa waktu lalu.
Salah satu masukan yang ia terapkan dari pelatihan P3PD adalah dengan menambah wisata hiburan yang sebelumnya tidak pernah ada di Pantai Muara Oba. Pelatihan tersebut juga membuat aparatur Desa Oba merasa semakin memiliki dan menjiwai apa yang tengah mereka kerjakan.
Senada dikatakan Wahyu Nugroho, Kepala Desa Sambirejo, Jawa Tengah. Menurut dia, warganya kini tidak lagi sekedar jadi penonton saja saat investor masuk. Itu karena dia berhasil menyusun desain tata ruang baru yang melibatkan masyarakat dalam pembangunan desa.
Hal pertama yang dilakukan di awal 2024 adalah berkoordinasi dengan aparat untuk memuat batas desa. Tujuannya untuk mengetahui potensi apa yang dimiliki Desa Sambirejo.
Kebetulan, Desa Sambirejo terkenal dengan keindahan candinya, seperti Candi Ijo, Candi Barong, Candi Nigiri, dan Candi Duwung hingga Sumur Bandung. Hal ini yang membuat banyak investor yang mau membangun bisnis mereka di desa tersebut. “Ketika desa memiliki perencanaan secara mandiri maka investasi akan masuk,” tandasnya.